oleh Ari Juliano Gema
Kata orang, Jakarta adalah kota serba ada. Bahkan empang raksasa, Jakarta juga punya. Tidak percaya? Coba lihat kota Jakarta dari udara beberapa hari yang lalu, ketika banjir besar melanda ibukota kita tercinta. Percayalah, saat itu kota Jakarta tampak seperti sebuah empang raksasa.
Saya sendiri turut merasakan dampak banjir tersebut. Meski rumah saya selamat dari genangan air, namun sebagian besar rumah di komplek perumahan saya tergenang air cukup tinggi. Saat itu, PLN pun memutuskan aliran listrik di komplek saya. Walhasil, kami sekeluarga harus tidur selama dua malam hanya dengan penerangan lilin.
Listrik Alternatif
Saat “menikmati” padamnya aliran listrik itu, ada pertanyaan yang mengganjal di pikiran saya. Ketika sambungan telepon dari Telkom tidak berfungsi, saya masih bisa menggunakan telepon selular. Ketika jetpump sedang tidak bisa menyedot air, saya masih bisa menggunakan pompa tangan. Kalaupun tidak ada pompa tangan, masih bisa minta air ke tetangga. Tapi kalau listrik sedang padam, apa yang bisa saya lakukan?
Mengupayakan tenaga listrik secara mandiri jelas bukan alternatif yang mudah dan murah. Seperti menggunakan genset misalnya. Disamping menimbulkan asap dan kebisingan yang mengganggu, genset juga membutuhkan bahan bakar minyak yang mungkin akan sulit didapat ketika dalam keadaan darurat. Belum lagi lamanya pasokan tenaga listrik dari genset sangat tergantung dari ketersediaan bahan bakarnya.
Kalau dalam bertelekomunikasi saja konsumen punya alternatif pilihan, bukankah dalam mendapatkan tenaga listrik seharusnya konsumen juga punya alternatif pilihan? Menurut UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan), selain PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan, pemerintah sebenarnya juga dapat memberikan kesempatan kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (IUKU) maupun Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri (IUKS).
Namun yang perlu dicatat adalah pemerintah hanya akan memberikan IUKU di suatu wilayah tertentu kepada koperasi atau badan usaha lain apabila: (i) pada wilayah tersebut belum dijangkau oleh layanan PLN atau pemegang IUKU lainnya; atau (ii) PLN atau pemegang IUKU yang telah ada tidak dapat menyediakan tenaga listrik dengan tingkat mutu dan keandalan terbaik. Sedangkan untuk IUKS, pemerintah hanya dapat memberikannya apabila: (i) PLN atau pemegang IUKU tersebut nyata-nyata belum dapat menyediakan tenaga listrik dengan mutu dan keandalan yang baik atau belum dapat menjangkau seluruh daerah usahanya; atau (ii) pemohon IUKS dapat menyediakan listrik secara lebih ekonomis. Untuk penyediaan tenaga listrik secara mandiri yang kapasitasnya tidak lebih besar dari 200 kVA, tidak memerlukan IUKS.
Pada prakteknya, PLN memang kesulitan untuk melayani kebutuhan listrik di berbagai pelosok pedesaan. Nilai investasi yang besar tanpa diimbangi pendapatan yang sesuai adalah alasan yang dikemukakan PLN dalam mengembangkan listrik di pelosok pedesaan tersebut. Sebagai contoh, menurut data tahun 2004, dari seluruh pedesaan di Kabupaten Garut terdapat sekitar 90% yang belum teraliri listrik. Oleh karena itu, didirikanlah Warung Listrik Tenaga Matahari (Warlista), suatu perusahaan di Garut yang bermitra dengan PLN, untuk memasok kebutuhan tenaga listrik di pedesaan tersebut dengan memanfaatkan tenaga matahari. Bagi perusahaan yang punya kepentingan untuk mendapatkan pasokan tenaga listrik yang stabil jelas lebih memilih untuk mengupayakan pasokan tenaga listrik secara mandiri dengan mengantongi IUKS ketimbang bergantung pada pasokan tenaga listrik dari PLN.
Dari hal di atas, telah jelas bahwa kebijakan ketenagalistrikan di Negara kita hanya memungkinkan adanya layanan listrik alternatif apabila layanan PLN belum menjangkau daerah kita. Sehingga apabila listrik padam akibat bencana, bagi kita yang punya keterbatasan ekonomi sepertinya harus bisa nrimo.
Informasi Publik
Bencana banjir beberapa waktu lalu juga menyebabkan gangguan transportasi di ibukota. Banyak cerita dari kawan-kawan yang terjebak kemacetan karena banyak ruas jalan yang tergenang air. Ada juga kawan-kawan yang berniat pergi ke kantor namun akhirnya harus kembali pulang karena banyak ruas jalan yang tidak dapat dilalui akibat genangan air yang cukup tinggi. Mereka bisa terjebak dalam keadaan tersebut jelas karena kurangnya informasi mengenai keadaan jalan pada saat itu.
Gemas rasanya membaca suatu artikel di harian Kompas (05/02/07) yang menyampaikan fakta bahwa saat ini telah ada kamera video yang jumlahnya hampir 200 unit, termasuk yang berbasis jaringan internet protocol, yang terpasang di beberapa ruas jalan di Jakarta. Ironisnya, hasil pantauan kamera video milik instansi pemerintah tersebut tidak dapat diakses dengan mudah oleh publik. Padahal pengadaan infrastrukturnya jelas dibiayai dari pajak masyarakat. Bahkan secara terang-terangan hasil pantauan kamera video itu dikomersilkan sebagai bagian dari layanan operator telekomunikasi dan lembaga penyiaran swasta.
Seandainya saja RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) telah disahkan, mungkin keadaan menjadi lain. Padahal RUU itu sudah sejak tahun 2000 dibahas di DPR namun sampai saat ini belum ketahuan hasilnya. RUU KMIP penting karena memberikan jaminan atas hak setiap orang untuk memperoleh informasi yang dihasilkan, disimpan atau dikelola oleh penyelenggara negara. Dengan begitu, penyelenggara negara tidak bisa lagi sewenang-wenang mengkomersilkan informasi publik yang seharusnya dapat diakses dengan mudah dan gratis oleh masyarakat luas.
Read more ►